KOMPAS.com - Matahari buatan China kembali mencatat rekor baru usai memanaskan satu putaran plasma. Matahari artifisial itu diklaim dapat memanaskan suhu hingga lima kali lebih panas dari panas matahari kita selama lebih dari 17 menit.
Padahal, suhu inti matahari yang sebenarnya hanya sekitar 15 juta Celsius.
Menurut kantor berita Xinhua, reaktor fusi nuklir EAST (Experimental Advanced Superconducting Tokamak) mempertahankan suhu hingga 158 juta derajat Fahrenheit atau 70 juta derajat Celsius selama 1.056 detik.
Melansir Live Science, Jumat (7/1/2022) keberhasilan eksperimen matahari buatan China ini membawa para peneliti untuk dapat menciptakan sumber energi bersih yang hampir tak terbatas.
Di samping rekor baru matahari buatan China lebih panas dari Matahari kita, perangkat EAST China juga memecahkan rekor sebelumnya, yang dibuat oleh Tore Supra tokamak Perancis di tahun 2003.
Pada saat itu, suhu plasma dalam lingkaran Tore Supra tokamak menetap pada suhu yang sama selama 390 detik.
Reaktor fusi nuklir eksperimental EAST juga sebelumnya telah mencetak rekor lain pada bulan Mei 2021, matahari buatan itu pun bertahan selama 101 detik dengan suhu mencapai 120 juta Celsius. Hal tersebut belum pernah terjadi, dan EAST China berhasil melakukannya.
"Operasi baru-baru ini menunjukkan dasar ilmiah dan eksperimental yang kuat untuk menjalankan reaktor fusi," ujar peneliti dari Institute of Plasma Physics of the Chinese Academy of Sciences, Gong Xianzu.
Dia mengatakan, para ilmuwan sudah mencoba memanfaatkan kekuatan fusi nuklir selama lebih dari 70 tahun.
Mereka menggabungkan atom hidrogen untuk membuat helium di bawah tekanan dan suhu yang sangat tinggi, sehingga mampu mengubah materi menjadi cahaya dan panas.
Matahari buatan China dimaksudkan agar menghasilkan energi dalam jumlah besar tanpa menimbulkan gas rumah kaca atau limbah radioaktif permanen.
Terkait capaian rekor baru matahari buatan China ini, diakui Xianzu, mereplikasi kondisi yang ditemukan di dalam inti bintang bukanlah pekerjaan yang mudah.
Desain paling umum untuk reaktor fusi, tokamak, bekerja dengan memanaskan plasma yang terdiri dari ion positif dan elektron bebas bermuatan negatif, sebelum menempatkannya di dalam ruang reaktor dengan medan magnet kuat.
Di sisi lain, mengatur gulungan plasma yang bergolak dan super panas untuk menghasilkan fusi nuklir ini merupakan proses yang melelahkan bagi peneliti.
Pada tahun 1958 ilmuwan Soviet, Natan Yavlinsky pun pernah merancang tokamak pertama, namun matahari buatan itu tidak ada yang pernah berhasil membuat reaktor eksperimental dengan kemampuan mengeluarkan lebih banyak energi.
Salah satu batu tantangan utama adalah bagaimana menangani plasma yang panas agar melebur, di mana reaktor fusi membutuhkan suhu yang sangat tinggi.
Sebab, alat ini beroperasi pada tekanan yang jauh lebih rendah dibandingkan tempat fusi alami terjadi di dalam inti matahari.
Para peneliti mengatakan, mengatur plasma ke suhu yang lebih panas dari matahari adalah bagian yang relatif mudah, tetapi menemukan cara untuk menahannya agar tidak membakar dinding reaktor tanpa merusak proses fusi cukup rumit.
Matahari buatan China EAST diperkirakan akan menelan biaya lebih dari 1 triliun dolar AS, dan akan selesai pada Juni 2022 mendatang.
EAST juga sedang digunakan untuk menguji teknologi proyek fusi International Thermonuclear Experimental Reactor (ITER) yang saat ini sedang dibangun di Marseille, Perancis.
Perangkat ITER diciptakan untuk menjadi reaktor nuklir terbesar di dunia yang diproduksi dari hasil kolaborasi antara 35 negara termasuk Uni Eropa, Inggris, Cina, India, dan Amerika Serikat.
ITER disebut mengandung magnet terkuat di dunia, sehingga mampu menghasilkan medan magnet 280.000 kali lebih kuat dari yang ada di sekitar Bumi.
Reaktor fusi tersebut pun diharapkan mulai bisa dioperasikan di tahun 2025, danakan memberi wawasan bagi para ilmuwan tentang pemanfaatan tenaga bintang di Bumi.
Sementara itu, China juga tengah menyusun lebih banyak alat pengembangan tenaga fusi nuklir dan berencana untuk menyelesaikan tokamak baru atau matahari buatan yang baru pada awal 2030-an.