KOMPAS.com - Mulai pekan depan, sejumlah wilayah di Indonesia akan menikmati fenomena hari tanpa bayangan Matahari.

Fenomena hari tanpa bayangan adalah posisi di mana Matahari berada di atas Indonesia, tepat berada di titik zenith. Posisi matahari ini membuat tidak ada bayangan yang terbentuk oleh benda tegak tak berongga saat tengah hari.

Peneliti di Pusat Sains Antariksa Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), Andi Pangerang mengatakan, posisi Matahari berada di atas Indonesia bukanlah sesuatu yang langka.

Sebab, Indonesia terbentang dari 6 derajat Lintang Utara hingga 11 derajat Lintang Selatan dan dibelah oleh garis khatulistiwa. 

Dengan lokasi geografis seperti ini, Matahari akan berada di atas Indonesia dua kali setahun.

"Fenomena ini (hari tanpa bayangan) selalu terjadi dua kali setahun untuk kota-kota atau wilayah yang terletak di antara dua garis," kata Andi kepada Kompas.com, Sabtu (28/8/2021).

Untuk tahun ini, posisi Matahari di atas Indonesia yang pertama sudah terjadi sejak akhir Februari hingga awal April silam.

Sedangkan, fenomena hari tanpa bayangan yang kedua akan terjadi antara tanggal 6 September hingga 21 Oktober mendatang.

Sebagai informasi, dua garis yang dimaksudkan di atas adalah Garis Balik Utara (Tropic of Cancer; 23,4 derajat Lintang Utara) dan Garis Balik Selatan (Tropic of Capricorn; 23,4 derajat Lintang Selatan). 

Berbeda halnya dengan kota-kota yang terletak tepat di Garis Balik Utara dan Garis Balik Selatan, yang hanya akan mengalami hari tanpa bayangan Matahari sekali dalam setahun.

Hari tanpa bayangan di kota-kota tepat di garis balik utara dan selatan ini akan terjadi hanya ketika Solstis Juni (20/21 Juni) untuk Garis Balik Utara maupun Solstis Desember (20/21 Desember) untuk Garis Balik Selatan. 

"Di luar ketiga wilayah tersebut, Matahari tidak akan berada di Zenit ketika tengah hari sepanjang tahun, melainkan agak condong ke Selatan untuk belahan Bumi Utara maupun agak condong ke Utara untuk belahan Bumi Selatan," ujarnya.

"Ketika Matahari berada di atas Indonesia, tidak ada bayangan yang terbentuk oleh benda tegak tidak berongga ketika tengah hari, sehingga fenomena ini dapat disebut sebagai Hari Tanpa Bayangan Matahari," jelas Andi Pangerang selaku Peneliti dari Pusat Sains Antariksa LAPAN dalam keterangan resminya melalui edukasi sains lapan.

Dalam pemberitaan Kompas.com, Selasa (10/9/2019), Astronom Amatir Indonesia Marufin Sudibyo menjelaskan, bahwa fenomena hari tanpa bayangan sebenarnya bukanlah fenomena langka.

Hari tanpa bayangan atau lengkapnya hari tanpa bayangan Matahari adalah suatu hari bagi suatu tempat tertentu di mana manusia dan obyek lain yang berdiri tegak akan kehilangan bayang-bayangnya, manakala Matahari mencapai titik kulminasi atas (istiwa') atau mengalami kondisi transit.

Akibatnya, bayangan akan jatuh tegak lurus karena bertumpu pada benda itu sendiri. Orang-orang membahasakannya menjadi bayangan yang hilang atau tanpa bayangan.

Setiap hari di antara terbit dan terbenamnya, Matahari menempuh lintasan khayali di langit yang tercermin dari dua parameter, yaitu altitud Matahari dan azimuth Matahari. 

"Kulminasi atas terjadi saat altitud Matahari mencapai maksimum pada hari itu," kata Marufin.

Situasi tersebut terjadi bersamaan dengan saat azimuth Matahari bernilai 180º atau 0º, fenomena yang disebut sebagai transit Matahari.

Sehingga pada saat kulminasi atas terjadi, bayang-bayang benda tegak yang dibentuk oleh pancaran sinar matahari akan tepat mengarah ke utara atau ke selatan. 

Hari tanpa bayangan Matahari terjadi manakala altitud Matahari tepat 90º, sehingga Matahari tepat berada di titik zenith (titik tertinggi yang bisa dicapai peredaran benda langit). 

Secara astronomis, hari tanpa bayangan Matahari terjadi manakala nilai deklinasi Matahari, yakni salah satu parameter dalam sistem koordinat langit, tepat sama dan senilai dengan garis lintang sebuah tempat. 

Matahari mengalami gerak semu tahunan yang sifatnya siklik mulai dari yang terbesar deklinasi +23º 26' hingga yang terkecil deklinasi -23º 26'. 

Perubahan deklinasi tersebut membuat Matahari akan menempati titik zenith yang tepat berada di atas Garis Balik Utara (lintang 23º 26' LU) setiap 21 Juni, pada saat deklinasi Matahari mencapai maksimum dan berada di atas Garis Balik Selatan (lintang 23º 26' LS) setiap 22 Juni pada saat deklinasi Matahari mencapai minimum. 

Lantas, bagaimana dengan hari tanpa bayangan di Indonesia?

Dikatakan Marufin, bahwa Indonesia secara geografis terletak di antara lintang 6º LU hingga lintang 11º LS. 

Dengan demikian, akan terjadi hari tanpa bayangan Matahari pada titik-titik tertentu di Indonesia, manakala Matahari memiliki deklinasi +6º hingga deklinasi -11º dan sebaliknya. 

"Hari tanpa bayangan Matahari dapat terjadi di seluruh Indonesia, meski bergantung kepada garis lintang masing-masing tempat," ujar Marufin yang juga aktif di Jogja Astro Club dan International Crescent Observationts Project (ICOP).

Sementara itu, menurut Andi, di sebagian besar wilayah Indonesia akan mengalami fenomena hari tanpa bayangan Matahari ini dua kali dalam setahun, tepatnya di kota-kota yang terletak di antara Garis Balik Utara (23.4 derajat Lintang Utara) dan Garis Balik Selatan (23,4 derajat Lintang Selatan).

Sedangkan, untuk kota-kota yang terletak tepat di Garis Balik Utara dan Garis Balik Selatan akan mengalami hari tanpa bayangan hanya sekali dalam setahun, yaitu ketika Solstis Juni (21/22 Juni) maupun Solstis Desember (21/22 Desember).

"Di luar wilayah tersebut, Matahari tidak akan berada di atas kepada kita (zenit) ketika tengah hari sepanjang tahun," ujarnya.


Sumber: https://www.kompas.com/sains/read/2021/03/01/160300723/hari-tanpa-bayangan-di-indonesia-bagaimana-bisa-terjadi-ini-penjelasan?page=2